Perkembangan teknologi semakin pesat, dan salah satu yang paling terasa dampaknya dalam dunia pendidikan adalah kehadiran Artificial Intelligence (AI). Di kalangan mahasiswa, AI bukan lagi hal asing. Berbagai tools seperti ChatGPT, Grammarly, Quillbot, hingga AI-based coding assistant kini sudah menjadi “teman belajar” yang praktis dan cepat. Namun, muncul pertanyaan penting: seberapa bijak kita memanfaatkan teknologi ini?
Dalam kehidupan kuliah yang dinamis dan penuh deadline, tidak sedikit mahasiswa yang merasa terbantu oleh AI. Saat bingung memahami materi, mahasiswa bisa bertanya ke chatbot. Saat stuck menulis esai, bisa minta bantuan AI untuk menyusun paragraf pembuka. Bahkan, ada juga yang menggunakan AI untuk membuat resume atau presentasi. Tidak dimungkiri, semua itu memang memudahkan. Namun, di sinilah pentingnya memahami bahwa AI bukan pengganti proses belajar.
AI seharusnya diposisikan sebagai alat bantu. AI bukanlah “otak kedua” yang bisa menyelesaikan segalanya tanpa kita ikut berpikir. Misalnya, ketika kita menggunakan ChatGPT untuk merangkum materi kuliah, itu boleh-boleh saja, asalkan setelah itu kita membaca dan memahami isi ringkasannya. Kalau AI digunakan untuk membuat keseluruhan isi tugas tanpa dipahami apa pun di dalamnya, itu jelas bukan belajar, melainkan memanipulasi prosesnya.
Dalam dunia pemrograman, penggunaan AI juga semakin marak. Tools seperti GitHub Copilot, ChatGPT, hingga Codeium mampu membantu mahasiswa menyelesaikan berbagai soal koding, bahkan membangun proyek dari nol. Namun, tantangan muncul ketika mahasiswa terlalu bergantung, bahkan menyerahkan seluruh proses koding ke AI. Banyak yang langsung pakai hasil dari AI tanpa memahami dasar sintaksis, konsep algoritma, bahkan tidak tahu framework apa yang sedang digunakan. Lebih parahnya lagi, mereka tidak tahu best practice atau alasan di balik baris kode tersebut. Akhirnya, saat masuk sesi presentasi atau pengembangan proyek lanjutan, mereka kesulitan menjelaskan, karena sebenarnya tidak pernah benar-benar “ngoding”. Padahal, logika pemrograman bukan hanya tentang hasil programnya, melainkan juga tentang proses berpikir, struktur, dan tanggung jawab intelektual dalam menulis kode.
Etika penggunaan AI dalam perkuliahan sangat penting untuk dijaga. Salah satu bentuk etika yang sederhana, tetapi bermakna adalah keterbukaan. Kalau menggunakan AI dalam menyelesaikan tugas, sebaiknya jujur terhadap dosen atau mencantumkan tools yang digunakan, apalagi jika memang diminta. Beberapa dosen saat ini mulai terbuka terhadap penggunaan AI, asalkan digunakan secara wajar dan tidak menggantikan pemahaman pribadi. Transparansi ini menunjukkan bahwa kita harus bertanggung jawab atas proses belajar kita sendiri.
Selain itu, penting juga untuk memahami bahwa hasil dari AI tidak sepenuhnya bisa dipercaya begitu saja. AI bekerja berdasarkan data yang ada, bukan pengetahuan yang selalu benar. Jadi, ketika kita mendapatkan jawaban atau penjelasan dari AI, jangan langsung dianggap sebagai kebenaran mutlak. Selalu lakukan pengecekan ulang ke buku, jurnal, atau sumber akademik yang kredibel. Dengan begitu, kita tidak hanya terbantu, tetapi juga tetap kritis.
Hal yang sering dilupakan mahasiswa adalah bahwa penggunaan AI secara mentah bisa menjurus pada plagiarisme digital. Misalnya, kita menyalin hasil tulisan dari AI tanpa modifikasi dan menyertakannya dalam tugas akhir atau laporan. Meskipun tidak menyalin dari orang lain, tetapi kita tidak menyatakan bahwa itu dibuat dengan bantuan AI dan tidak mengolahnya dengan gaya bahasa sendiri, tetap saja itu melanggar etika akademik.
Perlu diingat, kuliah bukan semata soal mengumpulkan tugas atau mengejar nilai. Lebih dari itu, kuliah adalah proses membentuk pola pikir, karakter, dan integritas. Oleh karena itu, ketika kita memilih untuk menggunakan AI, pastikan tetap aktif berpikir dan memahami. Jangan sampai teknologi yang seharusnya membantu, malah melemahkan kapasitas berpikir kritis kita.
Di masa depan, AI akan semakin maju. Bisa jadi, dunia kerja pun akan menuntut kita untuk akrab dan mampu mengoperasikan berbagai teknologi berbasis AI. Namun, sebelum sampai ke sana, kita harus belajar dulu bagaimana menjadi pengguna yang bijak. Karena secerdas apapun AI, tetap manusialah yang harus memegang kendali.