[19 April] Aku terbangun dari tidurku di bawah pohon Trembesi yang rindang, setelah hampir semalaman aku terjaga. “Gelap?.” “Kenapa ada banyak orang disana?.” ucapku keheranan melihat orang-orang dengan lentera merahnya. Hangat, nyaman, “perasaan apa ini?.” Gumamku sambil meraih lentera hitam disampingku. (Ini mimpi)
Kuliah, terdengar semu di telingaku. Tak terbayang memasuki kelas ber-Ac, dengan Smart TV-nya, dan Meja khas ‘Informa’. “Aneh rasanya sudah sampai sejauh ini.” Gumam ku.
Tidak seperti anak SMA lain keinginanku untuk berkuliah rasanya hampir tidak ada. Dalam batinku, “ngapain sih kuliah, ujung-ujungnya jadi karyawan.”
[22 April] Kubaca kembali buku perang dunia, karangan P. K. Ojong. Ini kali ke-8 aku membaca buku ini. “Ngapain kuliah, ya. Kalo kita bisa belajar sendiri lewat buku.” Aku masih bergumam berusaha tetap keras kepala dengan argumenku, sambil membalik halaman demi halaman.
“Kan!, apa kubilang Hitler saja bisa sukses karena tertolak kelas seni”. Gumamku ketika pasukan Jerman telah menusuk jantung kota Warsawa dengan gerakan kaka tuanya. “German discipline, right?.” kataku dalam hati.
Ketika SMA, aku memiliki cita-cita yang dianggap ‘aneh’ oleh teman sebayaku. Ketika yang lain ingin bekerja di perusahaan ternama, menjadi dokter, masuk Akmil, dan ‘dream job’ lainnya. Aku memiliki cita-citaku sendiri. Cita-cita yang sangat tidak mungkin ‘terwujud’, kata temanku. Ya, sebut saja Diaz si ‘Astronot’. Memang terdengar konyol. Namun, apa boleh buat. Dari dulu aku sangat ingin menjelajahi antariksa, ingin membuktikan bahwa di dunia yang luas ini, mungkin masih menyimpan jutaan misteri yang harus dipecahkan. Kini, mimpi itu tidak ada lagi. Tidak, mimpiku tidak mati. “Mimpiku terkubur hidup-hidup.”
[25 April] Aku tengah berdebat dengan ibuku. Debat yang seharusnya tidak pernah terjadi, pembicaraan yang seharusnya tidak pernah ada. Berdebat tentang masuk kuliah. Aku menang. Telak bisa dibilang. Keahlianku bersilat lidah mungkin menurun dari ayahku. Keahlian yang saat ini kubenci. Alasan apapun tidak dibenarkan mendebat orang tua, apalagi ibu sendiri. Aku pernah mendengar pepatah “jangan pernah menggunakan keahlianmu berbicara(Berdebat), kepada orang yang mengajarimu berbicara.”
Sesaat setelah ibuku pergi dalam diam. Aku menyadari telah melakukan suatu kesalahan, suatu dosa yang sunyi. Yang mungkin hanya bisa ‘diampuni’ oleh ibuku.
Alasan orangtuaku ingin aku kuliah, mungkin karena mereka akademisi. Jadi, kuliah itu penting.
Kucoba berdamai dengan apa yang terjadi. Namun, hati ini tambah sesak, sulit bernafas. Kubuka lagi buku favoritku, kubaca bab yang saat itu mengubah sudut pandangku. Bab: Battle of Britain, dimana kekuatan udara Jerman (luftwaffe) -saat itu yang terkuat di dunia- dikalahkan oleh angkatan udara Inggris (RAF) -lebih inferior- bukan karena pilot RAF lebih hebat, bukan karena persenjataan RAF lebih baik. Namun, karena adanya intelijen RAF yang berhasil membongkar sandi Jerman. Mulai dari situ aku berpikir. Karena beberapa akademisi, satu angkatan perang bisa memenangkan pertempuran.
[27 April] Lentera yang aku pegang memunculkan bercak-bercak aneh, seperti retakan telur rebus. Kupandang lentera itu. Sedikit mengeluarkan cahaya dari retakannya.
[29 April] Aku membulatkan tekadku untuk berkuliah. Kudatangi ibuku, aku berkata “Bu, aku mau kuliah.” Matanya yang minus menatapku teduh, hangat. Tersirat di wajahnya cahaya kegembiraan. Tak terbayang betapa senangnya aku di hari itu ketika melihat ibuku tersenyum gembira mengiyakan Pernyataanku.
[1 Mei] Aku mulai mencari Universitas-universitas di dalam negeri yang sekiranya cocok untukku. Pilihan pertama, UGM. Pilihan kedua, Unud. Pilihan ke tiga UNS. Karena aku juga mempertimbangkan ingin hidup mandiri, jadi untuk pilihan kedua otomatis aku coret karena letaknya di Bali, pulau kelahiranku. Untuk UGM, aku coret karena syarat mengikuti ujian mandiri UGM harus menyertakan skor UTBK. Karena di awal aku ga ikut UTBK(belum ada keinginan kuliah). Jadi, opsi satu-satunya yaitu UNS.
[3 Mei] Aku sedang ‘Research’ untuk mencari jurusan apa yang cocok denganku. Karena aku lumayan suka bermain game dan komputer. Maka, sudah jelas pilihan ku ada di Informatika UNS. Setelah memantapkan pilihanku. Aku mulai menghapus semua game, medsos, dan hal-hal yang Kira-kira akan men-distract-ku nanti saat mempersiapkan ujian mandiri.
Alhamdulillah, dengan segala usaha dan do'a orang tuaku akhirnya aku diterima masuk jalur mandiri UNS. Hal yang tidak pernah ada terbesit dalam hidupku, yang tidak pernah kubayangkan. Menjadi Mahasiswa.
Sejarah bisa menjadi sumber pelajaran yang berharga. Meskipun sejarah mungkin tidak selalu berulang persis sama, memahami pola-pola sejarah dapat membantu kita untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa sekarang dan masa depan. Aku tertawa kecil ketika mengingat sejarah Revolusi Prancis. Seakan-akan kejadian itu terulang kembali. [5 Mei] Aku menyadari bahwa telah terjadi ‘Revolusi Prancis ke dua’ dalam diriku. Revolusi yang membuat ‘Lentera hitam-ku’ pecah.
Menyisakan bagian tengahnya yang putih berkilau, melambangkan wajah baru, hal baru. Perubahan nyata yang tidak pernah terpikirkan olehku. Ternyata benar kata pepatah, sejarah bisa terulang kembali. "L'histoire se répète”



